PERKULIAHAN CODING UNIVERSITAS TRUNOJOYO

Pada tanggal 2 dan 8 Mei 2025, aku mendapat kesempatan istimewa untuk mengisi perkuliahan di Universitas Trunojoyo Bangkalan, Madura. Temanya cukup menarik dan cukup menantang: Coding untuk Anak Usia Dini atau yang sering dikenal dengan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).

Sebagai seseorang yang memang suka menulis, berbagi, dan belajar, tentu saja aku menyambut undangan ini dengan penuh semangat. Apalagi topik coding untuk anak-anak kecil ini bukan hal yang umum dibahas, padahal justru penting dikenalkan sejak dini.

Pertemuan Pertama: Pengenalan Coding untuk Anak Usia Dini

Pada pertemuan pertama, tanggal 2 Mei 2025, aku mulai dengan sesuatu yang sangat mendasar:

Apa itu coding?

Banyak yang mengira coding itu semata-mata soal menulis kode di komputer, penuh dengan angka dan simbol yang rumit. Padahal, kalau kita mau menyederhanakan maknanya, coding itu adalah bahasa yang digunakan untuk memberi instruksi kepada komputer. Sederhananya lagi, coding adalah cara berpikir logis dan runtut agar suatu masalah bisa diselesaikan.

Lalu aku masuk ke konsep coding. Di sini aku menekankan bahwa coding bukan hanya tentang mengetik di layar, tapi juga soal mengenalkan pola, mengenali urutan (sequence), membuat keputusan (condition), dan mengulang proses (looping). Contohnya sederhana kok: kalau anak kecil disuruh menyusun balok warna biru-biru-merah, itu sudah mengenalkan pola. Kalau mereka diminta memilih pakaian sesuai cuaca, itu sudah mengenalkan konsep keputusan.

Kemudian aku menjelaskan manfaat coding untuk anak usia dini. Ini yang sering bikin orang tua atau guru terkejut. Coding itu bukan soal mencetak anak jadi programmer, tapi soal melatih mereka berpikir kritis, memecahkan masalah, dan berani mencoba hal baru. Anak yang belajar coding biasanya juga lebih percaya diri dan terbiasa bekerja sama dengan teman.

Selanjutnya, aku membahas jenis-jenis coding yang cocok untuk anak usia dini. Tentu saja bukan yang rumit seperti Python atau Java! Untuk anak-anak kecil, kita gunakan media visual seperti block coding (misalnya ScratchJr), atau bahkan tanpa komputer, seperti unplugged coding — aktivitas permainan yang mengajarkan pola dan logika.

Terakhir, aku jelaskan penerapan coding berdasarkan usia. Anak usia 3–4 tahun bisa mulai dengan permainan pola sederhana, sedangkan anak usia 5–6 tahun bisa dikenalkan dengan aplikasi visual sederhana. Jangan lupa, semua harus dikemas menyenangkan, seperti bermain sambil belajar.

Yang paling aku sukai dari sesi pertama ini adalah antusiasme para mahasiswa. Mereka bertanya, berdiskusi, bahkan saling berbagi pengalaman tentang adik atau anak tetangga yang suka main game, dan bagaimana sebenarnya itu bisa diarahkan ke hal positif.

Pertemuan Kedua: Membuat Worksheet Pembelajaran Berbasis Coding

Pada pertemuan kedua, tanggal 8 Mei 2025, aku membawa sesi yang lebih praktis: bagaimana membuat worksheet pembelajaran berbasis coding.

Aku membuka sesi ini dengan mengingatkan, “Kalau kita mau mengenalkan coding ke anak kecil, kita harus masuk ke dunia mereka.” Dunia anak-anak itu penuh warna, gambar, cerita, dan permainan. Jadi, worksheet yang kita buat pun harus menarik, menyenangkan, dan sesuai tahap perkembangan mereka.

Kami mulai dengan brainstorming ide-ide worksheet. Misalnya, membuat lembar kegiatan menyusun urutan cerita (sequence), menebak hasil dari sebuah pilihan (condition), atau melengkapi pola yang hilang (pattern). Ada juga ide membuat maze (labirin) sederhana di mana anak harus mencari jalan keluar dengan petunjuk yang logis.

Kemudian aku mengajak mahasiswa mencoba langsung membuat satu worksheet sederhana. Ada yang menggambar hewan-hewan yang harus disusun sesuai ukuran, ada yang membuat kartu warna, ada juga yang merancang board game mini. Seru sekali melihat kreativitas mereka muncul!

Satu hal yang aku tekankan adalah: jangan takut salah atau tidak sempurna. Membuat media belajar itu proses yang terus berkembang. Lebih penting adalah niat kita untuk mencoba dan memperbaiki. Aku juga memberi tips bagaimana menguji worksheet ini ke anak-anak, mendengarkan respon mereka, dan menyempurnakan lembar aktivitas tersebut.

Di akhir sesi, aku merasa sangat bangga. Mahasiswa-mahasiswa ini, yang mungkin awalnya tidak tahu banyak soal coding, ternyata punya semangat besar untuk membawa perubahan di pendidikan anak-anak. Mereka tidak hanya paham materinya, tapi juga siap mencoba membuat karya nyata.

Refleksi Pribadi

Pengalaman mengajar ini membuka mataku lebar-lebar. Coding untuk anak usia dini bukan sekadar soal komputer atau teknologi. Ini soal membekali anak-anak dengan cara berpikir yang akan mereka bawa seumur hidup: berpikir runtut, memecahkan masalah, mencoba dan mencoba lagi.

Aku percaya, kalau semakin banyak guru, orang tua, dan calon pendidik yang paham akan pentingnya ini, kita bisa membangun generasi yang lebih siap menghadapi tantangan masa depan. Coding itu bukan hanya keterampilan teknis, tapi juga keterampilan hidup.

Semoga lewat tulisan ini, teman-teman yang membaca bisa ikut terinspirasi. Siapa tahu, kamu juga mau mulai mengenalkan konsep sederhana ini ke anak-anak di sekitarmu. Tidak harus rumit kok, bahkan lewat cerita, permainan, atau aktivitas sederhana, kita sudah bisa menanamkan benih logika dan kreativitas.

Terima kasih sudah membaca ceritaku ini. Kalau kamu punya pengalaman atau ide seputar mengajarkan coding untuk anak-anak, yuk berbagi di kolom komentar! Aku senang sekali bisa belajar dari kalian juga.

Sampai jumpa di cerita berikutnya! 🌸✨ 

Comments

Popular posts from this blog

BELAJAR CODING DENGAN SCRATCH

WEB/BLOG DENGAN BLOGGER

OPTIMALISASI KOMUNITAS PLATFORM MERDEKA MENGAJAR